Mengenal Praktik Paludikultur

            Praktik menanam di setiap daerah tidak dapat disamakan, dan tidak dapat dipaksakan sama. Hal tersebut karena tiap daerah memiliki karakteristik yang berbeda-beda, tanah yang beda, air yang beda, cuaca yang beda, kondisi masyarakat yang beda, dan banyak hal lain yang berbeda. Praktik menanam ini termasuk metode penanaman dan komoditas yang ditanam.

            Berlaku juga untuk penanaman di lahan gambut. Lahan gambut, khususnya di Indonesia memiliki karakteristik tanah yang berbeda dari tanah umumnya, beberapa karakteristik tersebut seperti memiliki pH 3.5 dan cenderung makin tinggi jika gambut makin tebal[1] . Memiliki kadar air yang tinggi berkisar 300 - 3000 % dari bobot keringnya, yang mana jauh lebih tinggi dibanding dengan tanah mineral yang kemampuan menyerap airnya hanya berkisar 20-35% bobot keringnya[2] .

Lahan Gambut - CIFOR

Memahami karakteristik lahan gambut adalah untuk memulai praktik pertanian di lahan gambut, hasil dari memahami karakter tersebut menghasilkan praktik menanam di lahan gambut yang disebut dengan “ Paludikultur “. Penamaan paludikultur berasal dari bahasa Latin ‘palus’ yang berarti rawa dan ‘kultur’ yang berarti budidaya; adalah budidaya biomassa dalam keadaan tergenang (atau di gambut yang kembali tergenang)[3] .

            Pengelolaan lahan rawa gambut yang akan digunakan untuk penanaman, umumnya menggunakan cara pengeringan lahan, sedangkan praktik paludikultur ini memiliki prinsip kerja yaitu pemanfaatan lahan rawa gambut untuk budidaya tanpa adanya pengeringan lahan, sehingga pemilihan jenis yang sesuai & bibit berkualitas menjadi kunci utama dalam pengembangan komoditas paludikultur[4] .

            Komoditas paludikultur sangat banyak, disebutkan ada sekitar 1376 spesies yang dapat dikategorikan sebagai komoditas paludikultur, dan lebih kurang 534 spesies diantaranya memiliki potensi ekonomi atau manfaat secara langsung bagi manusia. Diantaranya ada Sagu, Jelutung Rawa, Balangeran, Ramin, Purun, dan Bira - Bira[5] .

Tanaman Paludikultur - WRI

            Akan tetapi, tidak semua tanaman yang mampu hidup di gambut adalah paludikultur. Perlu diketahui, ada 2 jenis tanaman yang mampu hidup di lahan gambut, tanaman yang memang asli sana dan tanaman yang mampu beradaptasi dengan lingkungan, perbedaan keduanya terdapat pada tanaman asli dan non asli[6] .

Tanaman non asli seperti kakao, kelapa, karet umumnya membutuhkan penyesuaian seperti membuat dam - dam kotak untuk mengatur tinggi luapan muka air sedangkan praktik paludikultur tidak demikian. Melihat kembali ke prinsip kerja, lahan gambut dibiarkan tergenang tanpa adanya penambahan seperti drainase dan juga menggunakan spesies asli lahan gambut. Sehingga penanaman tanaman dengan drainase tersebut bukan praktik paludikultur tapi budidaya tanaman pada lahan gambut.

Tanaman Bukan Termasuk Praktik Paludikultur - WRI

Jadi, praktik paludikultur ini sebagai bentuk usaha budidaya untuk merevegetasi lahan gambut dengan jenis-jenis tanaman asli/endemik rawa gambut dengan mempertimbangkan aspek ekologi dan ekonomi[5] .

Kegiatan ini ditujukan untuk merehabilitasi dan merestorasi lahan gambut yang terdegradasi akibat pembangunan kanal-kanal, kebakaran hutan dan alih fungsi lahan dengan memperhatikan teknik-teknik silvikultur, pola tanam, tingkat degradasi lahan gambut[5] .

Ditulis Oleh : Mirza Saputra

Sumber : [1] [2] [3] [4] [5] [6]

Klik untuk mengenal Gambut lebih jauh

DotyCat - Teaching is Our Passion