Kolonialisasi Pertanian dan Pangan
“ Kuasai pangan maka engkau kuasai rakyat “ begitulah penggalan kalimat
Henry Kissinger, penasihat keamanan nasional di era Presiden Amerika Serikat
Richard Nixon. Sebegitu penting nya pertanian dan pangan di kehidupan
masyarakat. Saking pentingnya pangan, dia termuat dalam 3 kebutuhan primer
manusia, sandang, pangan, dan papan.
Penguasaan produksi dan konsumsi makanan telah menjadi sebuah kekuatan dan
kekayaan zaman prasejarah. Namun, produksi dan konsumsi mengalami perubahan
secara global setelah kedatangan orang - orang eropa pada abad ke 15, yang
diikuti proses kolonialisasi dan hal ini juga terjadi di
Indonesia.
Van Den Bosch - Wikipedia |
Kolonialisme adalah paham pendelegasian kekuatan politik ke luar wilayah
yang sah untuk memberdayakan wilayah lain[1]. Tinjauan historis
mengungkapkan, kolonisasi bermula untuk mencari hasil tani yang tidak
diperoleh di wilayah nya sendiri, sehingga memaksa masyarakat mendirikan
koloni di luar wilayah nya[1] .
Pendelegasian kekuatan politik ke wilayah lain tentu saja akan mengubah
hidup masyarakat terjajah, dan pangan akan selalu menjadi bagian yang
terdampak[2] .
Perubahan budaya pertanian dan pangan akibat kolonialisasi dapat berdampak
dan berkepanjangan, karena penguasa pasca kolonial seringkali mengikuti
jalan yang sama dan meneruskan yang telah ada.
Transformasi terlihat pada pola produksi pangan masyarakat, yang berupa
pemaksaan jenis dan pola tanam. sebelum adanya kolonialisasi, petani
memiliki kedaulatan terhadap pola tanam dan ragam tanaman. Kedaulatan petani
tidak terjadi sejak diberlakukannya Tanam Paksa atau Cultuurstelsel.
Tanam paksa ini mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanah nya
sekitar 20 % untuk ditanami komoditas ekspor seperti kopi, tebu, tarum atau
nila. Hasil nya akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang
sudah ditetapkan[2] .
Tanam Paksa - Kompas |
Seperlima lahan digunakan untuk menanam tanaman lain seperti tembakau,
lada, teh dan kayu manis, sedangkan yang tidak memiliki tanah harus bekerja
pada kebun - kebun milik pemerintah semacam pajak selama 66 hari
pertahun[2] , sumber lain mengatakan 75 hari pertahun[3]
.
Hal tersebut hanyalah kata - kata, perkembangan membuat semakin jauh
berbeda. tidak hanya seperlima, tetapi seluruh tanah pertanian ditanami
tanaman wajib. Bahkan lahan sumber pangan, meliputi sawah, juga digunakan
untuk menanam tanaman wajib[2] . Wilayah yang ditanami pun tetap
dikenakan pajak[3] . Meskipun penggunaan lahan hanya 5 % dari
seluruh area persawahan pada tahun 1845, sistem tanam paksa
memengaruhi seluruh karakter sistem administrasi kolonial[4]
.
Tidak hanya lahan pertanian yang ada untuk ditanami tanaman wajib, terutama
kopi, lebih banyak ditanam pada tanah yang belum digarap sehingga butuh
upaya untuk membuka lahan baru[2] . Kopi umumnya dibudidayakan
tanaman bahan makanan, tetapi kebijakan kolonial membuat petani harus
menempuh jarak lebih jauh, karena kopi di tanam di tanah milik distrik yang
kosong dan tidak digarap oleh penduduk karena letaknya yang cukup jauh dari
tempat tinggal mereka[4] .
Bagi yang tidak memiliki lahan, bekerja setahun penuh, tidak 60 hari
ataupun 75 hari. Mereka membuka lahan, pembuatan atau perbaikan jalan,
saluran irigasi, pengangkutan dan berbagai pelayanan kerja lain nya[2]
.
Cultuurstelsel - Kompas |
Akibat digunakannya sawah untuk tanam paksa, maka luas penanaman padi
semakin terus menurun, pada 1815 mencapai 79 % lalu periode 1936 - 1940
tinggal 49 %. Jagung dan ubi jalar serta singkong menunjukkan pamor nya,
jagung dari 7 % menjadi 25 %, ubi jalar dan singkong dari 5 % menjadi 16 %
[2] .
Mengatasi lahan persawahan yang di alih fungsi untuk menanam tanaman wajib,
maka digunakanlah tanah kering untuk menanam jagung, ubi jalar dan singkong
sebagai pengganti beras.
Hal ini menunjukkan bahwa jagung, ubi jalar dan singkong yang di tanam di
lahan kering memiliki kemampuan untuk menopang kekurangan beras. Padahal
jumlah penduduk di jawa terus meningkat[2] . Keanekaragaman
pangan telah terbukti mampu menyelamatkan serta mencapai ketahanan pangan di
tengah tekanan kolonial
Baca Juga : Dewi Sri dan Ketahanan Pangan
Dampak transformasi Cultuurstelsel mengubah bentuk sistem produksi pangan,
terutama jawa, secara permanen. Munculnya sistem kepemilikan tanah, tenaga
buruh murah, perubahan ekonomi dari subsisten ke ekonomi uang[2] .
Pihak yang sangat diuntungkan dan mendapatkan dampak positif adalah pihak kolonial, sedangkan pihak indonesia lebih banyak mendapatkan dampak negatif. Dari sekian banyak dampak negatif, masih ada dampak positif yang dirasakan seperti mengenal berbagai teknik dan jenis tanaman, meningkatkan jumlah edar uang sehingga menumbuhkan perdagangan, muncul tenaga ahli perkebunan dan peprabikan, serta perbaikan fasilitas seperti jalan dan irigasi[4] .
Ditulis Oleh : Mirza Saputra
Terima kasih telah membaca salah satu koleksi catatan sejarah pertanian indonesia dengan #dahulutani. Koleksi ini diharapkan dapat mengetahui peristiwa-peristiwa pertanian yang terjadi di masa lampau. Dengan mempelajari peristiwa pertaniandi masa lampau, kita bisa mempersiapkan kehidupan yang lebih baik di masa sekarang. “ Setiap Manusia Punya Sejarah, lalu dengan Sejarah mereka menganyam masa depan “ ( Iqbal Syarie, Transit Cinta )
Posting Komentar