Keadilan Irigasi Masyarakat Bali

            Air adalah salah satu sumber daya alam yang sangat penting bagi sebuah kehidupan, oleh karena nya di perlukan sebuah optimalisasi terhadap keberadaan sumber daya air ini. pembangunan irigasi merupakan salah satu komponen yang sangat penting, karena keberhasilan pembangunan pertanian, khususnya pertanian padi sawah sangat ditentukan oleh ketersedian air irigasi. 

            Air adalah syarat mutlak bagi kehidupan dan pertumbuhan tanaman. Air dapat berasal dari air hujan atau harus melalui pengairan yang diatur oleh manusia. Membawa air dari sungai ke sawah – sawah dikenal dengan istilah irigasi. 
            
            Agar penggunaan air dapat dihemat dan biaya pengairan dapat dikurangi, maka pengaturan atau pengelolaan air mutlak diperlukan. Untuk pengaturan tersebut diperlukan suatu bentuk kelompok yang mengkordinasikan sistem pengaturannya, sehingga penggunaan air berdaya guna dan merata [3].


Bali, sebagai salah satu daerah yang memiliki pertanian yang cukup subur telah memiliki sistem pertanian yang cukup tertata dan terorganisir. Sistem pertanian ini dikenal juga dengan nama sistem Subak.

Subak

Subak merupakan suatu sistem swadaya masyarakat yang berfungsi mengatur pembagian aliran irigasi yang mengairi setiap petak areal persawahan. Sistem ini dikelola secara berkelompok dan bertingkat disertai pembagian peran yang spesifik bagi setiap anggotanya [1].  Subak merupakan organisasi tradisional yang mampu mengelola air irigasi dari empelan yaitu suatu bangunan dengan pengambilan air di sungai yang dibangun oleh subak secara swadaya, sampai ke petak sawahnya [3].

Sejarah Subak

            Dalam kajian sejarah, diperkirakan sistem subak telah dikenal masyarakat Bali sejak abad ke-11 Masehi. Pendapat ini didasarkan pada temuan Prasasti Raja Purana Klungkung (994 Saka/1072 M) yang menyebutkan kata “kasuwakara”, yang diduga merupakan asal kata dari “suwak”, yang kemudian berkembang menjadi “subak” [1]. 

            Sumber sejarah lainnya adalah Lontar Markandeya Purana. Dalam naskah yang menceritakan asal muasal desa dan Pura Besakih ini terdapat cerita mengenai pertanian, irigasi, dan subak. Hal ini mengindikasikan eksistensi subak telah ada sejak sebelum Pura Besakih didirikan oleh Resi Markandeya pada awal abad ke-11 Masehi [1]. 

            Latar belakang didirikannya organisasi ini beberapa ribu tahun yang lalu karena lingkungan topografi dan kondisi sungai-sungai di Bali yang curam. Hal ini menyebabkan sumber air pada suatu komplek persawahan petani umumnya cukup jauh dan terbatas [6].

Mata Internasional juga tidak luput untuk memandang Subak, oleh karena itu UNESCO pada sidang ke 36 di St.Petersburg, Rusia, Jumat, 29 Juni 2012 mentapkan subak dari Bali sebagai bagian dari warisan budaya dunia. Oleh sebab itu lah, pada tanggal 29 Juni 2020 lalu, mesin pencarian Google menampilkan doodle berupa Subak untuk memperingati disahkan nya Subak dari bali sebagai bagian warisan dunia.

Sistem Subak

Sistem Subak memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda dengan sistem pengairan tradisional lainnya. Selain unik, sistem pengairan tradisional tersebut juga sangat menguntungkan para petani. Hal tersebut dikarenakan bahwa pengairan dengan desain pertanian subak ini dapat mengatasi kekurangan air. 

Saat irigasi berjalan baik, mereka menikmati kecukupan air bersama-sama. Sebaliknya, pada saat air irigasi sangat kecil, mereka akan mendapat air yang terbatas secara bersama-sama. Jadwal tanam dilaksanakan secara ketat. Waktu tanam ditetapkan dalam sebuah kurun tertentu. Umumnya, ditetapkan dalam rentang waktu dua minggu. 

Petani yang melanggar akan dikenakan sanksi. Untuk memperoleh penggunaan air yang optimal dan merata, air yang berlebihan dapat dibuang melalui saluran drainasi yang tersedia pada setiap komplek sawah milik petani. Sementara itu, untuk mengatasi masalah kekurangan air yang tidak terduga, mereka melakukannya dengan cara-cara seperti:


  1. Saling pinjam meminjam air irigasi antar anggota subak dalam satu subak, atau antar subak yang sistemnya terkait.
  2. Melakukan sistem pelampias, yakni kebijakan untuk memberikan tambahan air untuk lahan sawah yang berada lebih di hilir. Jumlah tambahan air ditentukan dengan kesepakatan bersama.
  3. Melakukan sistem pengurangan porsi air yang harus diberikan pada suatu komplek sawah milik petani tertentu, bila sawah tersebut telah mendapatkan tirisan air dari suatu kawasan tertentu di sekitarnya.
  4. Jika debit air irigasi sedang kecil, petani anggota subak tidak dibolehkan ke sawah pada malam hari, pengaturan air diserahkan kepada pengurus Subak [6].

        Para ahli juga menyebutkan bahwa Subak juga sebagai sistem teknologi yang sudah menjadi budaya di Bali. Subak sebagai metode teknologi dari budaya asli petani Bali. Fasilitas yang utama dari irigasi subak (palemahan) untuk setiap petani anggota subak adalah berupa pengalapan (bendungan air), jelinjing(parit), dan sebuah cakangan (satu tempat/alat untuk memasukkan air ke bidang sawah garapan) [7].

        Jika di suatu lokasi bidang sawah terdapat dua atau lebih cakangan yang saling berdekatan maka ketinggian cakangan-cakangan tersebut adalah sama (kemudahan dan kelancaran air mengalir masuk ke sawah masing-masing petani sama), tetapi perbedaan lebar lubang cakangan masih dapat ditoleransi yang disesuaikan dengan perbedaan luas bidang sawah garapan petani. Pembuatan, pemeliharaan, serta pengelolaan dari penggunaan fasilitas irigasi subak dilakukan bersama oleh anggota (krama) subak [7]. 

        Melalui sistem Subak inilah, para petani medapatkan bagian air sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh musyawarah dari warga/krama subak dan tetap dilandasi oleh filosofi Tri Hita Karana [7]. Dengan begitu setiap petani akan mendapatkan jatah air secara adil sesuai dengan kondisi petani dan lahan sawah nya

Filosofi Subak


Keberadaan Subak merupakan manifestasi dari filosofi Tri Hita Karana. Tri Hita Karana berasal dari kata "Tri" yang artinya tiga, "Hita" yang berarti kebahagiaan / kesejahteraan dan "Karana" yang artinya penyebab. Maka dapat disimpulkan bahwa Tri Hita Karana berarti “Tiga penyebab terciptanya kebahagiaan dan kesejahteraan”. 

Penerapannya didalam sistem subak yaituParahyangan ” yaitu hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan. “ Pawongan “ yaitu hubungan yang harmonis antara manusia dengan sesamanya. Palemahan yakni hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam dan lingkungannya [7]. Pawongan bearti sesama manusia harus saling asah, asih, asuh. Palemahan bearti manusia menjaga kebersihan sungai serta lingkungan atau membersihka lingkungan sawah. Parahyangan bearti diadakan nya upacara adat di setiap kegiatan persawahan  

Sawah, tanaman padi, dan air mempunyai peranan penting dalam sistem irigasi subak bahkan dikaitkan dengan segi religius. Ketiganya berhubungan dengan kekuasaan Dewi Sri (Dewi kesuburan dan kemakmuran). Oleh karena itu subak tidak semata hanya mengatur masalah teknis pengaturan dan pembagian air semata, tetapi juga aspek sosial dan religius (agama) [7].

Ditulis Oleh : Mirza Saputra

Sumber : [1] [3] [6] [7]

DotyCat - Teaching is Our Passion